Sunday, June 2, 2013

Pancasila Adalah Duri Yang Harus Disingkirkan (Asbirin Maulana)


Ketika saya ikut gerakan underground NII PISWA Arjosari Malang (perkumpulan Manunggal Bangsa Malang), Pancasila dianggap sebagai berhala besar yang harus dimusnahkan dan diganti dengan Al-Qur’an jika NII PISWA kelak meraih FUTUH MAKKAH (penggulingan rejim pemerintahan Indonesia), timbul sebuah pertanyaan: Apakah Pancasila saat ini masih relevan untuk disembah?

Bangsa Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang beragam baik dari segi suku, agama dan budaya. Perbedaan itu dipertentangkan secara tajam oleh Belanda sebagai sarana adu domba, agar tidak ada kekuatan pemersatu yang bisa mengancam penjajahan Belanda. Sama halnya dengan yang saya alami ketika tahun 1991 saya masuk dalam jeratan paham Darul Islam (DI-TII) yang di Singosari Malang dibawa Abang alias Asbirin Maulana alias Syatibi. Abang inilah yang membawa pemahaman baru (welt anschaung) bagi kami anak-anak muda yang haus akan daulah islamiyah yang bercermin pada perjuangan underground Negara Islam Indonesia (NII).

Pemahaman NII yang memperuncing perbedaan diantara ummat Islam di Indonesia dengan pisau analisis Al Furqon. Kami waktu itu diajari cara “membaca” atau membedakan antara orang mukmin dan orang kafir diantara rakyat Indonesia dengan 7 lapis materi indoktrinasi (disamarkan dengan istilah festival) selama 2 hari 3 malam.

Kehadiran golongan NII Pemerintahan Islam Sejuta Wali – PISWA (yang suka mengkafirkan masyarakat di luar kelompok NII karena tidak bersyahadat sesuai paham mereka) adalah bentuk hadirnya penjajah baru, dan pemecah belah persatuan rakyat Indonesia. Dimana hal ini merupakan ancaman bagi Pancasila khususnya sila ketiga persatuan Indonesia.

Pancasila, menurut Syahrir, merupakan sebuah ide dasar pembentukan masa depan negara Indonesia. Sebab itu,Pancasila tidak akan berbenturan dengan globalisasi maupun modernisasi. Nilai yang berbenturan dengan Pancasila adalah budaya kekerasan, budaya pecah belah, dan budaya westernisasi (kebarat-baratan). Ketiga budaya tersebut merupakan penghalang bagi modernisasi yang dicita-citakan para Founding Father negeri ini.

Jika globalisasi dijadikan sebagai alasan dari hancurnya nilai-nilai luhur bangsa, sebaliknya globalisasi yang didasarkan pada nilai Pancasila justru memperkuat jati diri bangsa. Globalisasi bukan semata-mata menelan budaya Barat secara mentah-mentah. Sebaliknya, globalisasi yang berarti hilangnya batas-batas antarnegara dapat dijadikan ajang promosi budaya luhur bangsa Indonesia.

Sebagai contoh argumen di atas, profesor-profesor di Harvard dan Yale University sering merujuk Indonesia dalam studi tentang konsep masyarakat majemuk yang toleran. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Indonesia dengan falsafah dasar Pancasila mampu menjadi inspirasi dunia dalam mengembangkan masyarakat global yang plural, namun memiliki sikap toleransi yang tinggi. Dengan hadirnya konsep NII-PISWA yang memperuncing perbedaan diantara ummat Islam sendiri lebih-lebih kepada agama lain, tentunya jelas melahirkan benih-benih intoleransi, disharmoni dalam berbangsa dan beragama. Indonesia bukan negara Islam, karena tidak dibangun berdasarkan Al-Quran, namun oleh semangat kebangsaan dalam ragam agama, suku bangsa dan budaya.

Memaknai Pancasila sebagai dasar negara dapat membuat generasi muda menjadi lebih memiliki toleransi yang tinggi, tanpa perlu mengklaim diri sebagai islam sejati, tanpa harus membodohi ummatnya sendiri. Pancasila bukan sekadar simbol pemersatu. Ia esensi dari kebersamaan dan keberagaman yang ada di Indonesia.

BY ADHINEGARA
Mahasiswa Internasional Program, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada